Rasionalitas vs Kepercayaan akan Hukum Karma


Karma dalam tradisi agama yang berbeda

Konsep karma adalah umum untuk semua agama yaitu Hindu, Budha, Jainisme dan Sikhisme. Variasi gagasan itu ditemukan dalam teks-teks suci agama-agama dunia lainnya juga. Hindu, Budha, dan Sikhisme memandang karma sebagai tindakan dan efek atau buahnya. Namun, dalam Jainisme, karma adalah zat halus dari ketidakmurnian besar yang terakumulasi pada tubuh karena tindakan murni dan tidak murni.

Keempat tradisi menegaskan bahwa karma adalah regeneratif, karena bertanggung jawab atas kelahiran kembali dan kelanjutan perjalanan jiwa di bumi. Ini juga mendukung karena ia menetapkan kondisi yang diperlukan untuk membuahkan tindakan di masa lalu, dan menentukan nasib makhluk hidup di setiap kelahiran. Karma juga bertindak sebagai penekan, penyembuh, dan perusak. Bergantung pada situasinya, tindakan tertentu dapat menekan, mencegah, menyembunyikan, menunda atau menghancurkan konsekuensi dari tindakan sebelumnya.

Jadi, karma adalah kekuatan perubahan dan manifestasi yang kuat. Itu adalah akar dari semua lima fungsi tertinggi Tuhan yaitu penciptaan, pemeliharaan, penyembunyian, wahyu, dan kehancuran.

Keempat tradisi juga mengakui bahwa untuk mencapai pembebasan seseorang harus membersihkan semua karma sebelumnya dan menahan pembentukan karma  berikutanya. Untuk itu mereka meresepkan berbagai metode.

Agama Buddha memandang karma sebagai sumber dari semua penderitaan. Keberadaan itu sendiri penuh dengan penderitaan, dan karma memperburuknya. Dari karma muncul kebijaksanaan (chetana), yang bermanfaat atau tidak bermanfaat. Yang pertama muncul dari kebajikan seperti tidak mementingkan diri sendiri, tanpa kekerasan, atau kesadaran benar, dan yang terakhir dari tiga sifat buruk yaitu keserakahan, kebencian dan khayalan.

Dalam Vaisheshika, yang merupakan salah satu dari enam aliran filsafat Hindu, karma memiliki makna khusus. Menurut aliran ini karma berarti gerak atau tindakan yang melekat pada suatu zat dan muncul sebagai konsekuensi alami baik dari penghubung atau disjungsi. Gerakan itu terdiri dari lima jenis, ke atas (utksepana), ke bawah (avaksepana), kontraksi (akunchana), ekspansi (prasarana) dan maju (gamana).

Konsep karma melekat dalam Veda dan dalam gagasan pengorbanan, hasil pengorbanan, pendakian jiwa ke dunia leluhur (pitrayana), dan kembalinya mereka ke bumi untuk mengambil kelahiran baru. Karena itu, adalah keliru untuk percaya bahwa orang-orang Veda mendapatkan ide dari tempat lain. Namun, tampaknya konsep dan prinsip eksistensi filosofis tertentu berkembang secara bertahap dalam pemikiran Upanishad.

Upanishad awal seperti Brihadaranyaka dan Chandogya Upanishad merujuk pada konsep karma dan menyarankan bahwa mereka yang melakukan pengorbanan dan hidup dengan saleh pergi ke surga leluhur atau mencapai pembebasan berbeda dengan mereka yang menuruti perbuatan berdosa, dan mengabaikan tugas mereka. Mereka pergi ke dunia bawah tanah dari mana mereka kembali dan mengambil kelahiran sebagai serangga.

Dalam tradisi Veda, karma awalnya berarti semua tindakan pengorbanan. Kemudian cakupan makna diperluas untuk mencakup semua jenis tindakan manusia yang menghasilkan buah.

Bhagavad-Gita mengidentifikasi keinginan sebagai akar penyebab karma. Dalam tradisi sebenarnya dari Upanishad, itu menempatkan konsep pengorbanan pada konsep karma dan memberikan solusi praktis untuk menyelesaikan masalah karma. Keinginan tindakan yang ditunggangi, baik dan buruk, menghasilkan buah karma. Jika tindakan dilakukan tanpa keinginan dan keegoisan, itu tidak menyebabkan karma. Jika mereka dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan (sebagai korban) itu bahkan lebih baik. Hindu juga percaya bahwa kita dapat menetralisir karma dengan rahmat Tuhan, atau guru.

Dalam Agama Buddha percaya pada kefanaan segala bentuk kehidupan. Bahkan para dewa adalah makhluk fana, meskipun masa hidup mereka dapat mencapai ribuan tahun. Pada akhirnya setiap orang harus membusuk dan hancur, dan setiap orang tanpa kecuali tunduk pada karma.

Dengan demikian, tidak seperti dalam Hinduisme, agama Buddha percaya bahwa masalah karma tidak dapat diselesaikan sepenuhnya kecuali seseorang mencapai pembebasan. Dengan demikian, apakah kita melakukan tindakan dengan keinginan atau tanpa keinginan, kita tidak dapat membalik roda keberadaan yang tak terhindarkan yang bergerak maju tanpa henti. Kita  akan melarikan diri darinya hanya ketika tidak lagi ada sebagai individu dan memasuki keadaan hampa.

Seseorang dapat mengumpulkan karma baik dengan menyembah para Buddha, para dewa, atau para Bodhisattva. Karena jasa itu seseorang dapat mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi (jhana) dalam meditasi dan berhasil menetralkan karma masa lalu.

Apa pun yang dilakukan, sendiri, para dewa tidak akan menetralisirnya. Namun, seperti halnya Hindu, Buddhisme mengakui keinginan adalah akar penyebab karma dan menyarankan agar hidup di Jalan Delapan Kali Lipat untuk menyelesaikannya. Dalam kedua tradisi pemurnian diri, praktik-praktik seperti perilaku berbudi luhur, pengendalian diri, konsentrasi, meditasi dan penyerapan Diri memainkan peran kunci.

Kedua tradisi juga berpendapat bahwa karma disimpan dalam kesadaran diri sendiri sebagai kesan laten dan keinginan dan sikap dominan yang dibawa ke depan untuk kehidupan berikutnya.

Jainisme memiliki pandangan yang sama tentang karma sebagai Hindu dan Budha. Namun dalam Jainisme, karma bukan sekadar catatan tindakan saja. Ini lebih merupakan zat halus, yang terakumulasi di sekitar jiwa atau Diri ketika terlibat dalam tindakan yang dipenuhi hasrat. Itu adalah sesuatu seperti kotoran, atau ketidakmurnian yang merepotkan yang menyumbat sistem seseorang dan mencegah seseorang untuk bebas. Seseorang dapat menyingkirkan kenajisan ini hanya melalui pemurnian diri yang intens dengan melakukan penghematan tanpa kompromi.

Dengan demikian, ketiga tradisi ini membuat bertanggung jawab atas tindakan dan menjadikan penyebab utama kehidupan dan takdir seseorang.

Berbagi adalah wujud Karma positif